Resensi

RESENSI

Judul Buku : Agama Tanpa Penganut

Penulis : Prof. Dr. Abd. A’la

Penerbit : Kanisius Yogyakarta bekerja sama dengan Impulse dan

IAIN Sunan Ampel Surabaya

Cetakan : I, 2009

Tebal : 158 Halaman




NILAI-NILAI AGAMA YANG TERABAIKAN

Oleh: Syaiful Amin

Bagi manusia yang mempercayai adanya Tuhan, agama merupakan bagian dari elemen terpenting yang menjadi sumber dan landasan prilaku sehari-hari. Pada hakikatnya, agama tidak hanya mengatur hubungan antara hamba dan Tuhannya, atau dalam terminologi agama Islam dikenal dengan sebutan Hablun minallah, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan manusia yang dikenal dengan sebutan hablun minannas. Artinya, selain mengajarkan masalah-masalah ritual, agama juga mengajarkan pola kehidupan secara sosial. Bahkan aspek sosial mendapatkan perhatian yang lebih besar ketimbang aspek ritual yang terdapat dalam agama.

Sayangnya, tidak sedikit umat beragama yang hidup pada era modern ini lupa bahkan mengabaikan ajaran-ajaran agama yang bersifat sosial- moral. Mereka lebih mementingkan ajaran yang bersifat ritual dan penuh dengan simbol-simbol keagamaan. Contoh sederhananya, dalam agama Islam banyak orang yang rajin melakukan ibadah shalat, puasa, haji, kurban, dan segala bentuk ritual lainnya. Akan tetapi pada saat yang bersamaan mereka tidak peduli dan acuh tak acuh dengan permasalahan sosial. Bahkan yang lebih parah lagi, mereka melakukan kejahatan, penindasan, dan kekerasan terhadap siapa saja yang mempunyai perbedaan pandangan.

Fenomena inilah yang mungkin menggugah Prof. Abd. A’la untuk mengkaji sekaligus mengkritisi gejala-gejala yang menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam mengaplikasikan ajaran-ajaran agama. Melalui buku ini, beliau mengkritik habis-habisan prilaku manusia yang cenderung menjalankan ajaran agama secara parsial. Mulai dari manusia yang hidup di belahan dunia barat sampai pada manusia yang hidup di belahan dunia timur. Boleh saja Amerika serikat mempunyai semboyan “ In god We Trust”, tapi sikap dan prilakunya masih saja terlihat serem dan menakutkan. Kelompok wahabi di Negara Arab bisa saja mengaku sebagai kelompok yang paling tunduk atau taat terhadap ajaran agama Islam, tapi fanatisme dan kekerasan masih menjadi bagian dari karakternya. Begitu pula bangsa Indonesia dapat mengklaim sebagai bangsa yang religius, akan tetapi penindasan, diskriminasi, bahkan korupsi masih menjadi kenyataan yang tidak bisa dielakkan. (hlm. 17).

Idealnya, setiap umat beragama harus mampu merefleksikan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ibadah ritual ke dalam bentuk prilaku yang humanis. Perdamaian, toleransi, kepedulian, serta kepekaan terhadap masalah-masalah sosial adalah sebuah keniscayaan yang sejatinya selalu dijunjung tinggi oleh setiap individu-individu umat beragama. Hal ini tidak lain bertujuan demi terciptanya sebuah kehidupan yang sejahtera.

Agama tidak boleh diartikan sebagai ajaran yang hanya mementingkan kehidupan akhirat semata. Agama harus diartikan sebagai ajaran yang memberikan tuntunan hidup secara utuh. Jangan sampai agama dipraktekkan hanya dari satu sisi saja, sebab hal itu sama dengan melecehkan agama itu sendiri. Lebih melecehkan lagi, ketika agama hanya dijadikan sebagai alat legitimasi untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat subjektif dan pragmatis. Seperti kepentingan politik dan sebagainya.

Dalam konteks politik , Prof. Abd. A’la berpendapat bahwa politik merupakan salah satu ranah yang paling memerlukan agama untuk dibiaskan menjadi pembenar bagi syahwat-syahwat kekuasaan yang mengeram dibalik politik itu sendiri. (hlm.10). Betapa banyak politisi busuk yang melakukan kebohongan, saling sikut-sikutan, saling mengecam hanya demi meraih kekuasaan. Itu semua acap kali dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol agama dan dalil-dalil agama sehingga apa yang mereka lakukan tampak benar dihadapkan publik. Walaupun demikian, penggunaan simbol-simbol agama dalam ranah politik tidaklah memberikan jaminan terhadap keberhasilan seorang politisi (atau partai) dalam hal kekuasaan. buktinya, pada pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang telah berlangsung beberapa bulan yang lalu, partai-partai yang menggunakan simbol-simbol agama tidak mampu meraup dukungan atau suara yang banyak dari masyarakat.

Selain dalam ranah politik, dalam ranah sosial pun agama masih cenderung dijalankan secara simbolik. Seolah-olah agama hanyalah sebuah perangkat yang terdiri dari simbol-simbol tanpa nilai-nilai sosial yang berada di balik simbol tersebut. Padahal pada prinsipnya agama diturunkan dengan tujuan untuk menciptakan kemaslahatan atau kesejahteraan kepada pemeluknya secara khusus, dan kepada semua manusia secara umum. Atau dalam agama Islam dikenal dengan istilah Rahmatan lil ‘alamin. Tujuan ini tentu tidak akan tercapai tanpa pengejawantahan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ibadah-ritual ke dalam kehidupan sosial.

Contoh kecil dari nilai ibadah yang nyaris jauh dari kehidupan sosial adalah kebersihan. Dalam agama Islam dikenal yang namanya thaharah (bersuci) yang memberikan pelajaran agar setiap umat Islam senantiasa menjaga kebersihan, baik kebersihan yang bersifat batiniyah (hati) ataupun kebersihan yang bersifat lahiriyah, seperti kebersihan fisik dan lingkungan. Tapi dalam tataran realitas, setiap saat kita menjumpai orang Islam yang membuang sampah sembarangan dan melakukan pencemaran lingkungan. Padahal di sisi lain hampir setiap orang Islam hafal konsep an-nadzofatu minal iman (kebersihan bagian dari iman).

Dikemas dengan bahasa yang lugas dan mudah pahami, melalui buku ini Prof Abd A’la tidak hanya berani mengkritisi fenomena “ kepincangan” kehidupan beragama yang dipraktekkan oleh pemuluk agama itu sendiri. Melainkan beliau juga menawarkan solusi-solusi cemerlang agar kepincangan tersebut dapat diatasi. Dalam pengertian agar semua umat beragama bisa menjalankan ajaran-ajaran agama yang bersifat ritual-simbolik dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai sosial-moral yang terkandung di dalamnya.

Di antara solusi-solusi tersebut adalah Pertama, organisasi keagamaan perlu menyegarkan kembali kiprahnya dengan program atau kegiatan yang mengarah pada pemberdayaan dan “pencerdasan” masyarakat sekaligus penumbuhan moralitas keagamaan yang substantif. Kedua, partai politik dan lembaga yang melekat pada politik kekuasaan hendaknya lebih dewasa serta mengembangkan sikap fairness dengan tidak menjadikan agama sebagai alat untuk meraih tujuannya yang cenderung pragmatis. Ketiga, pendidikan agama harus mampu merumuskan kembali menjadi pendidikan yang bernilai signifikan dan fungsional bagi stakeholders dan kehidupan sehingga sesuai dengan visi agama. (hlm 149)

SYAIFUL AMIN

Ketua Islamic Journalism Community (IJC)

Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

0 Responses