Resensi

RESENSI

Judul Buku : Agama Tanpa Penganut

Penulis : Prof. Dr. Abd. A’la

Penerbit : Kanisius Yogyakarta bekerja sama dengan Impulse dan

IAIN Sunan Ampel Surabaya

Cetakan : I, 2009

Tebal : 158 Halaman




NILAI-NILAI AGAMA YANG TERABAIKAN

Oleh: Syaiful Amin

Bagi manusia yang mempercayai adanya Tuhan, agama merupakan bagian dari elemen terpenting yang menjadi sumber dan landasan prilaku sehari-hari. Pada hakikatnya, agama tidak hanya mengatur hubungan antara hamba dan Tuhannya, atau dalam terminologi agama Islam dikenal dengan sebutan Hablun minallah, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan manusia yang dikenal dengan sebutan hablun minannas. Artinya, selain mengajarkan masalah-masalah ritual, agama juga mengajarkan pola kehidupan secara sosial. Bahkan aspek sosial mendapatkan perhatian yang lebih besar ketimbang aspek ritual yang terdapat dalam agama.

Sayangnya, tidak sedikit umat beragama yang hidup pada era modern ini lupa bahkan mengabaikan ajaran-ajaran agama yang bersifat sosial- moral. Mereka lebih mementingkan ajaran yang bersifat ritual dan penuh dengan simbol-simbol keagamaan. Contoh sederhananya, dalam agama Islam banyak orang yang rajin melakukan ibadah shalat, puasa, haji, kurban, dan segala bentuk ritual lainnya. Akan tetapi pada saat yang bersamaan mereka tidak peduli dan acuh tak acuh dengan permasalahan sosial. Bahkan yang lebih parah lagi, mereka melakukan kejahatan, penindasan, dan kekerasan terhadap siapa saja yang mempunyai perbedaan pandangan.

Fenomena inilah yang mungkin menggugah Prof. Abd. A’la untuk mengkaji sekaligus mengkritisi gejala-gejala yang menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam mengaplikasikan ajaran-ajaran agama. Melalui buku ini, beliau mengkritik habis-habisan prilaku manusia yang cenderung menjalankan ajaran agama secara parsial. Mulai dari manusia yang hidup di belahan dunia barat sampai pada manusia yang hidup di belahan dunia timur. Boleh saja Amerika serikat mempunyai semboyan “ In god We Trust”, tapi sikap dan prilakunya masih saja terlihat serem dan menakutkan. Kelompok wahabi di Negara Arab bisa saja mengaku sebagai kelompok yang paling tunduk atau taat terhadap ajaran agama Islam, tapi fanatisme dan kekerasan masih menjadi bagian dari karakternya. Begitu pula bangsa Indonesia dapat mengklaim sebagai bangsa yang religius, akan tetapi penindasan, diskriminasi, bahkan korupsi masih menjadi kenyataan yang tidak bisa dielakkan. (hlm. 17).

Idealnya, setiap umat beragama harus mampu merefleksikan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ibadah ritual ke dalam bentuk prilaku yang humanis. Perdamaian, toleransi, kepedulian, serta kepekaan terhadap masalah-masalah sosial adalah sebuah keniscayaan yang sejatinya selalu dijunjung tinggi oleh setiap individu-individu umat beragama. Hal ini tidak lain bertujuan demi terciptanya sebuah kehidupan yang sejahtera.

Agama tidak boleh diartikan sebagai ajaran yang hanya mementingkan kehidupan akhirat semata. Agama harus diartikan sebagai ajaran yang memberikan tuntunan hidup secara utuh. Jangan sampai agama dipraktekkan hanya dari satu sisi saja, sebab hal itu sama dengan melecehkan agama itu sendiri. Lebih melecehkan lagi, ketika agama hanya dijadikan sebagai alat legitimasi untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat subjektif dan pragmatis. Seperti kepentingan politik dan sebagainya.

Dalam konteks politik , Prof. Abd. A’la berpendapat bahwa politik merupakan salah satu ranah yang paling memerlukan agama untuk dibiaskan menjadi pembenar bagi syahwat-syahwat kekuasaan yang mengeram dibalik politik itu sendiri. (hlm.10). Betapa banyak politisi busuk yang melakukan kebohongan, saling sikut-sikutan, saling mengecam hanya demi meraih kekuasaan. Itu semua acap kali dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol agama dan dalil-dalil agama sehingga apa yang mereka lakukan tampak benar dihadapkan publik. Walaupun demikian, penggunaan simbol-simbol agama dalam ranah politik tidaklah memberikan jaminan terhadap keberhasilan seorang politisi (atau partai) dalam hal kekuasaan. buktinya, pada pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang telah berlangsung beberapa bulan yang lalu, partai-partai yang menggunakan simbol-simbol agama tidak mampu meraup dukungan atau suara yang banyak dari masyarakat.

Selain dalam ranah politik, dalam ranah sosial pun agama masih cenderung dijalankan secara simbolik. Seolah-olah agama hanyalah sebuah perangkat yang terdiri dari simbol-simbol tanpa nilai-nilai sosial yang berada di balik simbol tersebut. Padahal pada prinsipnya agama diturunkan dengan tujuan untuk menciptakan kemaslahatan atau kesejahteraan kepada pemeluknya secara khusus, dan kepada semua manusia secara umum. Atau dalam agama Islam dikenal dengan istilah Rahmatan lil ‘alamin. Tujuan ini tentu tidak akan tercapai tanpa pengejawantahan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ibadah-ritual ke dalam kehidupan sosial.

Contoh kecil dari nilai ibadah yang nyaris jauh dari kehidupan sosial adalah kebersihan. Dalam agama Islam dikenal yang namanya thaharah (bersuci) yang memberikan pelajaran agar setiap umat Islam senantiasa menjaga kebersihan, baik kebersihan yang bersifat batiniyah (hati) ataupun kebersihan yang bersifat lahiriyah, seperti kebersihan fisik dan lingkungan. Tapi dalam tataran realitas, setiap saat kita menjumpai orang Islam yang membuang sampah sembarangan dan melakukan pencemaran lingkungan. Padahal di sisi lain hampir setiap orang Islam hafal konsep an-nadzofatu minal iman (kebersihan bagian dari iman).

Dikemas dengan bahasa yang lugas dan mudah pahami, melalui buku ini Prof Abd A’la tidak hanya berani mengkritisi fenomena “ kepincangan” kehidupan beragama yang dipraktekkan oleh pemuluk agama itu sendiri. Melainkan beliau juga menawarkan solusi-solusi cemerlang agar kepincangan tersebut dapat diatasi. Dalam pengertian agar semua umat beragama bisa menjalankan ajaran-ajaran agama yang bersifat ritual-simbolik dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai sosial-moral yang terkandung di dalamnya.

Di antara solusi-solusi tersebut adalah Pertama, organisasi keagamaan perlu menyegarkan kembali kiprahnya dengan program atau kegiatan yang mengarah pada pemberdayaan dan “pencerdasan” masyarakat sekaligus penumbuhan moralitas keagamaan yang substantif. Kedua, partai politik dan lembaga yang melekat pada politik kekuasaan hendaknya lebih dewasa serta mengembangkan sikap fairness dengan tidak menjadikan agama sebagai alat untuk meraih tujuannya yang cenderung pragmatis. Ketiga, pendidikan agama harus mampu merumuskan kembali menjadi pendidikan yang bernilai signifikan dan fungsional bagi stakeholders dan kehidupan sehingga sesuai dengan visi agama. (hlm 149)

SYAIFUL AMIN

Ketua Islamic Journalism Community (IJC)

Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

KETIKA IDHUL ADHA KAMI TERASA BERBEDA

Bising kendaraan berlalu lalang merayap berderet-deret, membuat kota Pahlawan berdengung laksana lebah nan penuh polutan. Di ujung perempatannya, sekelompok anak duduk melingkar. Siratan senja menerpa gembul pipi-pipi mereka yang belepotan karena asap. Tak terlihat kesamaan dalam komunitas ini kecuali baju lusuh berdebu, peluh kesal selepas berperang melawan getir kehidupan di jalanan dan seraut canda manakala bersua melingkar di pojok perempatan setip hari, setiap sore kecuali Jum’at, Sabtu, dan Minggu.
“Bagaimana menurut temen-temen?”, tanya Mulyono setelah berbicara cukup lama.
“Siip lah. Aku ngikut dech “, celetuk Amar menimpali.
Sementara aku, Enong, Upiq, Kasmo Atmojo dan Fia mengangguk-angguk setuju. Khusus mengenai Fia, satu-satunya wanita dalam komunitas ini akan mengiyakan usulan apapun asal tidak disuruh me-make up-i paras mukanya.Terlihat lucu katanya. Bahkan kemarin, rencana memanjat pohon Nangka pun dia lakoni. Wanita terkadang sulit dipahami.
Ketujuh bocah membubarkan diri. Menyisakan seutas simpul-simpul kesepakatan hasil rembukan di samping perempatan jalan Surabaya. Amar, Enong dan Upiq berjalan ke Utara, sedangkan Fia dan Kasmo Atmojo memilih jalur selatan.
Aku membantu Mulyono meraih Enggrannya. Semenjak umur 3 tahun, kaki Mulyono terkilir. Saat itu, kelaparan lebih menakutkan daripada kaki yang terkilir. Sehingga Mulyono harus tertatih-tatih berjalan, ayunan langkahnya tergantung dengan Enggran. Aku dan Mulyono tinggal di gang yang sama, Gang VI Kali Bader. Mulyono terlihat sebagai sahabat yang sempurna bagiku.
****
Saya dan keenam temanku hidup di jalanan, setidaknya 10 jam sehari menguap bersama letup-letup knalpot yang bercumbu dengan aspal yang meleleh. Amar dan Kasmo membawa Kebus plastik dari rumah. Mengelap kaca-kaca mobil saat terhenti di traffic light menunggu warna hijau menyalak. Mereka mengibaskan Kebus di pintu mobil yang tak tampak debu sedikit pun di sana sambil mengharapkan kaca terbuka lalu menyumbulkan pundi-pundi rupiah terlontar keluar.
Enong, Upiq dan Fia lebih terhormat bagi kami. Mereka adalah bisnisman kami. Mereka menjual dagangan lebih bersemangat daripada sales bermuka menor dan berseragam. Mereka berterik matahari, mondar-mandir di lipatan mobil bersama dua pengelap debu tadi. Menawarkan jajanan, mengetuk-ketuk kaca mobil seraya berharap rentetan jajan laku kendati cuma ada kacang goreng dan kripik kentang saja.
“Laku berapa koran hari ini?”. Beginilah sapa Mulyono setelah terengah-engah berjalan ke arahku. Seperti biasa aku akan tersenyum sambil memberikan isyarat dengan tangan. Tak mampu mulut ini menerjemahkan kekesalahan hati secara verbal. Pagi tadi, aku hanya menunjukkakan telunjuk yang berdiri besanding jari tengah, mirip isyarat tanda Peace, karena memang cuma 2 lembar koran yang terjual. Padahal aku telah duduk di depan pajangan koranku sedari pukul 05.30. Sedangkan Mulyono baru bisa datang setelah menitipkan jajanan ibunya di Koperasi Sekolah Al-Jihad.
Begitulah roda waktu menggelinding kami dalam “stats quo” aktifitas yang melelahkan. Tak sempat bagi kami mengenyam pendidikan sekolah, menikmati 20% APBN untuk mencerdaskan kami karena Negara mungkin memang “menjamin” keberlangsungan orang-orang seperti kami. Syukurlah, kami masih sedikit beruntung dengan keberadaan LAGZIS (lembaga Zakat Infak dan Shodaqoh). Lewat Community of Cares (COC) kami tergabung dalam kelompok belajar anak jalanan yang dipandu oleh para relawan di lembaga tersebut. Setidaknya kami mengenyam pendidikan agama sebagai cikal bakal moral kami dalam laku kehidupan.
Ustadz Asaduddin adalah tutor favorit kami. Saat beliau mengajarkan budi pekerti, seolah-olah beliau bagian dari kami. Baliau merasakan pahit getirnya hidup di jalanan lalu menggambarkan dalam sebuah ironi kehidupan. Beliau memancing gelak tawa kami lalu menyisipkan kata-kata motivasi dan semangat berakhlak yang baik dalam mengarungi kehidupan yang makin ganas. Ajaran beliau tentang sholat membuat kami harus menghentikan aktifitas kami di jalanan saat adzan Dzuhur dan Ashar berkumandang. Mulyonolah yang mengingatkan kami untuk melaksanakan pesan Pak Asad bahwa sebaik-baik urusan adalah mengerjakan sembahyang di awal waktu. Kami “cuek bebek” alias tak mengacuhkan cibiran orang-orang di musholla yang merasa terganggu melihat penampilan kami.
“Asal pakaian kita suci dan kita tidak mencuri, tidak ada alasan bagi mereka mengusir tamu Allah seperti kita”. Mulyono lagi-lagi menguatkan hati kami yang selalu grogi menapakkan kaki di musholla dekat perempatan yang menjorok ke gang itu.
Mulyono memang seorang yang pincang, namun kemampuan menangkap pelajaran dari tutor-tutor COC membuat kami terseok-seok mengikuti. Pikirannya jauh melesat sementara kami cuma terbengong tak melangkah. Kami kagum dengan kepribadiannya, caranya berteman, dan yang paling indah adalah melihat bagaimana dia mampu tersenyum dalam kondisi apapun. Sehingga tanpa voting ataupun aklamasi, Mulyono adalah ketua kami berjuang di jalanan Surabaya menggantikan sosok Bung Tomo yang baru saja disematkan tanda pahlawan.
Semua terperangah tak percaya saat Mulyono mengungkapkan sebuah gagasan yang tidak masuk akal di forum melingkar, senja itu. Mulyono menawarkan untuk melakukan kurban kambing dengan “uang akhirat”. Uang akhirat merupakan istilah kami untuk menyebutkan sejumlah uang yang kami sisihkan bersama dari hasil berpeluh lelah di jalanan. Semangat berhemat inipun berhulu dari Pak Asad yang mengajarkan “hidup boros sama dengan menghina tuhan”. Tuhan, kata Mulyono, memperhitungkan asas manfaat dari maha karya-Nya, sementara boros mengesampingkan prinsip itu. Sudah hampir enam bulan kami mengumpulkan koin demi koin hanya untuk mengisi tabungan “uang akhirat” yang menjadi komitmen kami meski pada awalnya kami tak mempermasalahkan kegunaan uang akhirat itu.
Rasional manapun pasti semendal mengetahui anak jalanan ingin berkurban kambing. Kita memang telah lama berkurban tapi hanya ranah berkurban perasaan. Tak sedikit pun terbesit dalam hati kami menggunakan uang akhirat di Idhul Adha yang tinggal menunggu hari.
“Allah memerintahkan kita sholat, temen-temen”, Mulyono memulai berbicara, sore itu.
“Kalian tentu masih ingat, bahwa Allah menitahkan kita untuk berkurban setelah kita mengerjakan sembahyang. Fasholli lirobbika wan har, maka sholatlah karena tuhanmu dan berkurbanlah. Begitu Allah besabda dalam surat Al-Kafirun. Kita telah dikarunia banyak nikmat, temen. Nikmat bisa mengecap ilmu dengan lembaga zakat lewat para relawan COC. Karena mereka, kita punya hari belajar full day di hari sabtu dan minggu, setiap pekan. Sering pula kita mendapat bingkisan dari mereka. Sikap kita pun makin bertambah baik. Dahulu, sholat jum’at terus tertinggalkan. Sekarang kita malah menjaga seluruh sholat kita. Uang akhirat kita pun sudah lumayan banyak. Hasil dari sikap hemat kita. Kinilah saatnya bagi kita menyempurnakan wujud kenikmatan kita dengan melaksanakan kurban. Setiap hari pengorbanan kita memang telah tertunaikan bersama peluh yang mengucur, di jalanan kota pengap ini, temen. Mari kita gunakan uang akhirat kita untuk membeli kambing.” Panjang lebar Mulyono mensugesti kami.
Kami saling memandang, tak percaya. Bagaimana mungkin kami harus merelakan jerih payah kami yang terkumpul selama enam bulan hanya untuk membeli hewan kambing. Sekedar buat mengganjal perut saja kami harus membanting tulang, merelakan waktu kami tercecer di jalanan. Bagaimana pun, batinku sendiri melongo menentang sekaligus salut dengan usul itu. Ambivalensi yang teratur antara melihat realita diri sendiri dengan kejeniusan ide, inovatif yang agak ngawur mungkin. Tapi untuk mengutarakan tidak sepaham, aku mengangkat topi. Kuharap Fia mau mewakili aku yang tidak sependapat, karena hanya Fia yang biasa mengorek keterangan lebih jeli daripada kami, selain Mulyono tentunya.
Keadaan tiba-tiba hening seakan secara ajaib mementalkan kami di hutan belantara yang sunyi dan angker. Dengung kendaraan redup, bunyi klakson mobil menjadi tereduksi. Lama nian kami bungkam saling pandang.
“Bagus, aku kenal dengan penjual kambing yang harga per ekornya lebih murah daripada kambing-kambing yang di jual di pasar Wonokromo.”
Semua terperangah, memandangi empu kalimat itu. Keheningan pecah. Mungkin aku yang paling tertegun menyadari bahwa Fia telah menetapkan pilihannya, Fia menyutujui. Hilang harapanku. Enong dan Upiq tersenyum simpul. Kasmo Atmojo tergelak kecut. Sementara Amar lebih lantang.
“Siip lah. Aku ngikut dech “, celetuk Amar menimpali.
****
Selepas sholat Maghrib, aku dan temen mempunyai rutinitas yang berbeda. Kami berubah menjadi sosok-sosok lain setelah matahari terbenam, mirip identitas busana kaum santri. Malam ini adalah jadwal Pak Asad. Dan tak ada satupun dari kami yang mencoba terlambat. Bukan karena hukuman yang kita terima bila telat masuk, melainkan keikhlasan kami dalam berlomba datang lebih awal saat beliau mengajar kami. Tak ada yang rela ketinggalan petuah beliau sementara anak yang lain tahu. Begitu berharganya Pak Asad bagi kami. Pak Asad selalu menghormati kami meski Amar dan Katmo selalu memakai baju yang sama bekas berlunta-lunta di jalanan Surabaya, siang tadi. Jangan tanya kecutnya.
“Segenap orang muslim seluruh dunia akan segera merayakan idul adha, anak-anakku. Mereka mewujudkan pengorbanan dengan memotong hewan kurban. Seekor kambing disembelih oleh satu orang, sedangkan sapi atau unta oleh tujuh orang. Anak-anakku, Allah tidak memandang seberapa deras aliran darah yang memuncrat dari tiap hewan ternak yang dikurbankan. Tapi Allah hanya memeriksa kadar ketakwaan yang tersembul dari jiwa orang yang berkurban. Alangkah berbahagia orang yang berkurban didampingi keimanan dan ketakwaan yang kokoh”.
Kupandangi Fia, ia menggelengkan kepala. Amar dan Kasmo menatapku guna menjawil Mulyono yang sedari tadi terbius petuah Pak Asad. Sekilas Mulyono tersenyum menatapku lalu sekelebat menghadap ke kami satu-persatu. Sejurus kemudian Mulyono mengacungkan tangan. Menceritakan kepada Pak Asad tentang rencana kami berkurban dengan menggunakan “uang akhirat” meski kehidupan kami sangat tidak berkecukupan.
Kami menunjukkan keseriusan kami melakukan kurban. Kami menatap Pak Asad penuh ta’dzim saat beliau memandangi kami. Sekilas kutanggap gelagat mata beliau yang mulai tergenangi bulir air mata. Meski tak sempat menetes, kurasakan guratan keanehan beliau menyaksikan sekelompok anak jalanan yang ingin berkurban. Keterbatasan ekonomi ternyata bukan hambatan untk memulyakan hari raya kurban. Namun kami juga bingung mengetahui bahwa seekor kambing dikurbankan oleh satu orang. Sementara kami bertujuh hanya mampu membeli seekor kambing, bukan sapi.
“Tunggu sebentar”.
Pak Asad pergi meninggalkan ruangan tanpa memandang kami. Bukan tabiat beliau berbicara sambil memalingkan muka. Ataukah mungkin beliau tak ingin kami melihat linangan air mata yang mulai mengalir. Kami memahami perasaan Pak Asad menurut pikiran kami sendiri-sendiri. Sesaat kemudian beliau hadir kembali di depan kami.
“Anak-anakku, seekor kambing memang dikurbankan oleh seorang saja, sementara sapi oleh 7 orang. Beginilah Rosulullah mengajarkan pada kita. Bagi orang yang ingin berkurban, khususnya orang yang berkecukupan, ajaran ini pastilah lebih meringankan. Berbeda dengan kalian. Uang yang akan kalian gunakan untuk berkurban adalah jerih payah yang terkumpul setiap hari, selama enam bulan. Mungkin inilah pengorbanan yang sesungguhnya. Pengorbanan yang tidak terukur oleh kilogram daging kurban, yang tak dapat disejajarkan dengan banyaknya darah yang mengucur, tapi sebuah pengorbanan yang lahir dari keimanan.”
Sejenak Pak Asad terhenti menahan sembab, lalu melanjutkan perkataannya.
“Rosulullah pernah menyembelih dua ekor domba. Akan tetapi beliau menghadiakan pahalanya bagi diri beliau, segenap keluarga dan seluruh umat islam. Maka para ulama’ memperbolehkan persekutuan mengenai pahala dari kurban yang disembelih. Maka aku ingin kalian melaksanakan cara ini. Hanya seorang yang berkurban, namun pahala diperuntukkan untuk orang bersama”.
Semua bertepuk tangan gembira. Ucapan syukur menggema ke setiap sudut ruangan memecah keheningan yang mematung sedari tadi. Namun kegembiraan kami tidak berhenti.
“Mulyono,” panggil Pak Asad “Aku melihat kamu cukup cakap menjaga amanat. Pak asad hanya memilki sedikit rizki yang bias dibagi. Belilah kambing dengan uang ini, insya Allah masih tersisa. Berkurbanlah dengan harapan pahala yang teramat agung bagi keenam sahabat kamu yang lain. Cantumkan nama Bapak pula di doa yang kamu panjatkan bersanding nama-nama sahabat, keluarga, dan para Guru kamu. Teruslah belajar, karena Nabimu menyuruh kalian belajar, bukan sekolah. Sebab banyak yang sekolah tapi tak belajar”, ujar Pak Asad sambil menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribuan pada Mulyono.
Kelas kembali bergemuruh memancarkan pujian ke haribaan ilahy. Tidak pernah terbayangkan bagi kami akan benar-benar akan berkurban di tahun ini. Bahkan “uang akhirat” kami pun tak tersentuh, tetap utuh. Mungkinkah kesenangan kami menyaingi kegembiraan nabiyullah Ibrohim saat akan mengorbankan Isma’il yang kemudian digantikan lembu jantan yang gemuk oleh Allah? sementara kami senang masih bisa berkurban dengan uang pengganti dari Pak Asad.
Amar dan kasmo saling berpelukan. Upiq, Enong berdiri berjingkrak seakan tak menyadari bahwa sosok Pak Asad masih mematung di depan sambil tersenyum. Sementara aku dan Mulyono lebih memilih menatap lekat figur Pak Asad penuh kagum akan kelembutan hatinya. Sedangkan Fia lebih tertunduk syukur menyeka linang air mata yang menetes. Beberapa kali bibir manisnya tergerak komat kamit. Entah sikapnya ini menunjukkan pada kesenangan yang sama atau hanya karena “uang akhirat” yang tak jadi digunakan. Mungkin saja satu-satunya wanita di komunitas ini berkeinginan meminjam “uang akhirat” untuk persalinan ibunya yang sedang hamil tua? Aku tak mengerti. Wanita memang terkadang teramat sulit dimengerti. Setidaknya, saat ini kami sedang riuh rendah bergembira menyambut bayangan kurban kambing kami yang pertama.

Dalam kitab Mugnil Muhtaj juz VI halaman 127 tertera keterangan bahwa berkurban seekor kambing hanya tercukupi oleh satu orang. Namun persekutuan orang lain mengenai pahala berkurban itu diperbolehkan dengan bertendensi pada hadis fi’liyah riwayat Muslim yang menerangkan bahwa Rosulullah SAW pernah berkurban 2 ekor domba namun kemudian berdoa (dari kurbannya itu), “Allahumma taqobbal min Muhammad, wa Aali Muhammad, wa min Ummati Muhammad”.Wallahu a’lam bil showab.
Dari Mohammad Ikhwanuddin, teruntuk Bidadari.